Penulis : Musri nauli *)
Koranjambi.com – Hans Kelsen, filsuf hukum berkebangsaan Austria, mewariskan sebuah pemikiran revolusioner: Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law). Tujuannya mulia: menjadikan ilmu hukum sebagai disiplin yang murni, objektif, dan bebas dari segala unsur asing (alien elements) seperti politik, sosiologi, etika, dan yang paling utama, moralitas. Bagi Kelsen, hukum harus dilihat sebagai tatanan norma yang berdiri sendiri, sebuah sistem logis hierarkis yang validitasnya hanya bersumber dari norma yang lebih tinggi (Grundnorm), bukan dari pertimbangan adil atau tidak adil.
Namun, coba bayangkan jika “ilmu hukum murni” ini dibawa ke tengah-tengah masyarakat adat di Jambi untuk memahami Seloko. Di sinilah teori Kelsen menghadapi kegagalan fundamental, sebuah kebutaan metodologis terhadap hakikat hukum yang berakar pada budaya dan mitos.
Pilar utama kegagalan Kelsen adalah “Tesis Pemisahan” (Separation Thesis) yang menolak ikatan antara hukum (Das Sollen—apa yang seharusnya) dan kenyataan sosial/moral (Das Sein—apa yang senyatanya).
Bagi Kelsen, sebuah norma hukum adalah valid selama ia dibuat oleh otoritas yang berwenang, terlepas dari isinya. Ia menganggap moralitas dan keadilan sebagai nilai yang irasional atau relatif, sehingga tidak dapat menjadi standar mutlak bagi hukum positif.D
Dalam kerangka berpikir ini:
- Hukum = Struktur Norma (Das Sollen) yang bersifat tertulis dan formal.
- Moral, Mitos, Adat = Unsur Ekstra-Legal yang harus dibuang dari analisis hukum.
Seloko: Teks Hukum yang Berakar pada Mitos
Sementara Kelsen menuntut kemurnian, Seloko Adat Melayu Jambi justru hidup dalam “ketidakmurnian” yang kaya. Seloko bukan sekadar kumpulan aturan tertulis, melainkan perangkat hukum yang disampaikan melalui bahasa figuratif, perumpamaan, dan kiasan yang—jika dianalisis—mengungkapkan lapisan makna yang dalam, mulai dari denotasi hingga mitos.
Analisis Komparatif Seloko: Mengungkap Kebutaan Formalisme Kelsen
Perbandingan interpretasi tiga bait Seloko Adat Melayu Jambi melalui lensa Hans Kelsen (Teori Hukum Murni) dengan lensa Semiotika Kultural menunjukkan kegagalan fundamental Kelsen dalam memahami hukum yang hidup.
Kegagalan Memahami Sentralitas: Mitos Pancer. Pohon Gedang ditengah dusun,” merujuk pada prinsip sentralitas kekuasaan.
Pandangan Kelsenian mereduksi frasa ini sebagai fakta sosiologis yang tidak memiliki nilai normatif hukum yang murni.Pandangan Kultural (Semiotika) melihatnya sebagai Simbol Sentralitas Kekuasaan yang berakar pada Mitos Pancer (Pusat Kehidupan). Simbol ini menegaskan bahwa legitimasi aturan berasal dari fungsinya sebagai poros penopang komunitas, bukan sekadar prosedur pembentukannya.
Reduksi Perlindungan: Mitos Pengayoman. kedua, “Pohonnya rindang tempat beteduh,” adalah prinsip inti perlindungan sosial. Pandangan Kelsenian menggolongkannya sebagai pernyataan moral atau etika yang harus dikeluarkan dari ilmu hukum. Bagi Kelsen, fungsi melindungi (rindang) bukan penentu validitas hukum.Pandangan Kultural memahami rindang sebagai Prinsip Perlindungan Sosial yang diselimuti oleh Mitos Pengayoman. Dalam adat, Pengayoman adalah kewajiban normatif yang jika diabaikan, akan meruntuhkan otoritas pemimpin, sekaligus meruntuhkan legitimasi aturan yang dibuatnya.
Salah Tafsir Fondasi: Mitos Kebijaksanaan yang Berakar. ketiga yang berbunyi “Akarnya kuat tempat besilo,” membahas fondasi dan kekuatan otoritas. Pandangan Kelsenian hanya melihatnya sebagai metafora yang tidak relevan dengan konsep Grundnorm (Norma Dasar) yang bersifat diandaikan dan apriori. Pandangan Kultural menegaskan bahwa akar yang kuat adalah Prinsip Kekuatan Fondasi yang dilindungi oleh Mitos Kebijaksanaan yang Berakar. Prinsip ini secara langsung berhubungan dengan validitas: suatu aturan yang “ke bawah tak berakar” dianggap tidak sah (ilegitim) secara adat, karena tidak memiliki pijakan nilai yang kokoh di masyarakat.
Intinya, Kelsen gagal memahami Seloko karena ia secara sadar menolak alat analisis (semiotika dan mitos) yang diperlukan untuk membongkar bahwa validitas hukum adat tidak bersifat formal-prosedural, melainkan kultural-semantik.
Inilah titik tolak kegagalan Kelsen. Seloko adalah Icon dan Simbol. Hukum Kelsen hanya mengakui norma tertulis. Seloko menyampaikan otoritas (Petanda) melalui perumpamaan visual (Ikon: Pohon) dan makna kultural (Simbol: Pancer). Metode Kelsen yang steril tidak memiliki alat untuk mendekonstruksi ikonografi ini. Validitas Seloko adalah Kultural, Bukan Formal. Seloko menegaskan bahwa sesuatu yang tidak memiliki dasar (akar) dan dukungan (pucuk) adalah “tidak sah” (“ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar…”). Validitas hukum ini tidak diukur dari ketepatan prosedural dalam konstitusi formal (Grundnorm Kelsen), melainkan dari kedalaman akarnya dalam masyarakat (Mitos Legitimasi Hukum
Jika seorang Kelsenian ditugaskan menganalisis Seloko, ia akan menyimpulkan bahwa Seloko bukan hukum, melainkan hanya sosiologi, etika, atau sastra. Ia tidak akan melihatnya sebagai hukum yang hidup (living law).
- Mengabaikan Kekuatan Mitos: Kelsen menolak mitos dan irasionalitas. Padahal, bagi masyarakat adat, mitos tentang “Pancer” (pusat) atau “Pengayoman” adalah kekuatan yang mengikat norma-norma sosial. Tanpa memahami mitos ini, norma perlindungan sosial yang terkandung dalam Seloko tidak akan dipahami secara utuh.
- Formalisme yang Mengunci Diri: Fokus Kelsen pada norma murni dan hierarki formal membuatnya buta terhadap hukum yang tumbuh secara organik dari nilai-nilai masyarakat. Ia hanya akan mencari undang-undang tertulis, dan mengabaikan norma yang disuarakan melalui perumpamaan.
Kasus Seloko menunjukkan bahwa memurnikan hukum secara total, sebagaimana dikehendaki Kelsen, justru dapat membuat ilmu hukum buta terhadap realitas hukum di lapangan, terutama pada tatanan hukum adat. Dalam konteks Indonesia, di mana hukum adat masih sangat kuat, pendekatan Kelsenian hanya akan menjadi “pisau analisis” yang tumpul.
Kearifan lokal seperti Seloko justru menuntut kita untuk memandang hukum secara holistik—sebagai perpaduan antara norma formal, nilai moral, dan struktur sosial yang dibungkus oleh bahasa kiasan. Untuk memahami hukum yang hidup, kita tidak bisa menjadi Kelsenian murni; kita harus bersedia memasukkan kembali moral, mitos, dan budaya yang telah diusir Kelsen dari singgasana ilmu hukum. (*)
*) Advokat. Tinggal di Jambi













