Oleh: Qienanty Alice Diva Alvytha *
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024. Prabowo Subianto mengunjungi Cina sebagai negara pertama setelah dilantik sebagai Presiden. Tujuan utama kunjungan Presiden Prabowo Subianto datang ke Cina adalah untuk memperkuat kerjasama antara Indonesia dan Cina di berbagai bidang, termasuk bidang maritim.
Pada tanggal 9 November 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto telah bertemu dengan Presiden Xi Jinping yang kemudian mereka telah membuat Joint Statement. Dengan adanya kebijakan tersebut, terutama pernyataan ke-9 mengenai Kerjasama Maritim di Laut Cina Selatan menuai kritik dan memancing opini publik, mulai dari yang positif maupun negatif. Dalam pernyataan tersebut, kedua negara yaitu Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk mengembangkan kerjasama di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih. Pernyataan tersebut dianggap mengubah sikap Indonesia terhadap klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan. Sebab, tahun tahun sebelumnya, Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak Tiongkok atas “Sembilan Garis Putus-Putus” ataupun “Sepuluh Garis Putus-Putus. Hal ini dikarenakan Klaim ini bertentangan dengan hukum laut internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Namun dengan adanya Joint Statement 9 November lalu, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus-Putus.
Dengan adanya hal ini, sangat berdampak pada pengaruh hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya dan dapat menimbulkan ketegangan di negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak China seperti negara Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia.
Hampir seluruh pakar hukum seperti Guru Besar Hukum Internasional, dan para pengamat seperti mantan Hakim Agung Filipina, serta para masyarakat Indonesia turut mengkritik pernyataan tersebut karena dapat mengkhawatirkan akan dampak geopolitik yang lebih luas di kawasan, termasuk potensi ketegangan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun Langkah ini selaras dengan kampanye Prabowo lalu yang menyatakan ingin memperkuat maritim Indonesia, dan Pemerintah Indonesia menegaskan pernyataan itu bertujuan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian, tetap saja pernyataan tersebut tampaknya dapat berpotensi merugikan Indonesia. (*)
*) Mahasiswa Hukum Universitas Jambi