Oleh : Qienanty Alice Diva Alvytha
Sengketa tanah diatur dalam Undang-undang tentang Sengketa Tanah. Sengketa tanah melibatkan badan hukum, atau orang perseorangan. Tanah sengketa adalah tanah yang kepemilikannya dipersengketakan oleh dua pihak yang saling ingin bersaing untuk berusaha mengklaim kepemilikan atas tanah tersebut (Putu Diva Sukmawati, 2022).
Ada beberapa penyebab terjadinya sengketa tanah, yaitu kurangnya kejelasan dalam sertifikasi tanah, ataupun perbedaan data tanah yang memicu klaim ganda atas tanah. Sengketa tanah merupakan suatu masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan dan harus membutuhkan proses yang sangat panjang.
Salah satu kasus persengketaan tanah adat yang ada di Indonesia adalah konflik Suku Anak Dalam yang terjadi di Tebing Tinggi, Sumatera Selatan. Kasus tersebut disebabkan oleh tidak adanya dokumen kepemilikan tanah oleh Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam atau yang biasa dikenal dengan sebutan orang Rimba merupakan salah satu suku asli yang mendiami Pulau Sumatera, tepat aslinya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, arti Orang Rimba pun menurut Suku Anak Dalam sendiri yaitu orang-orang yang hidup dari sumber hutan dan bergantung pada alam (Vanya Karunia Mulia Putri, 2023)
Sengketa kepemilikan tanah adat Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Tebing Tinggi, Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan merupakan konflik yang berkelanjutan di Indonesia. Dimulai pada tahun 1995, konflik ini muncul akibat alih fungsi lahan adat yang menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta, yaitu PT Perkebunan London Sumatera (Lonsum), tanpa persetujuan yang jelas dari masyarakat adat.
Awalnya, Suku Anak Dalam menyerahkan 2.500 hektar tanah untuk pengembangan kebun kelapa sawit, sementara 1.100 hektar akan diberikan oleh plasma sawit kepada kelompok transmigran dari Desa Karya Makmur dengan memberikan janji bahwa sebagian lahan akan dikembalikan. Setelah PT Lonsum telah menghasilkan minyak sawit yang sangat melimpah dan bernilai hingga jutaan dolar, janji yang awalnya diberikan oleh PT Lonsum tidak dipenuhi, dan masyarakat Suku Anak Dalam pun tidak mendapat keuntungan sepeserpun seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, sehingga menyebabkan masyarakat kehilangan tanah dan sumber mata pencaharian dan penghidupan mereka.
Kebutuhan akan tanah untuk pembangunan kerap kali tanah ulayat dipergunakan, sehingga sering terjadi kontroversi antar masyarakat. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tertulis bahwa tanah adat merupakan tanah hak ulayat yang dimiliki oleh adat tertentu. Akibat buruk dari konflik tanah adat ini, yaitu terjadinya perebutan wilayah tanah milik Suku Anak Dalam Tebing Tinggi dengan Dengan Desa Karya Makmur yang tidak memiliki lahan. Setelah bertahun-tahun berkonflik, akhirnya tercapai kesepakatan dimana 1.000 hektar dikhususkan bagi Desa Karya Makmur, 100 hektar untuk infrastruktur pembuatan jalan, dan 1.400 hektar dikembalikan ke masyarakat Suku Anak Dalam. Tahun 2000, Hak Guna Usaha (HGU) dikeluarkan atas nama PT PP Lonsum Tbk di atas lokasi Suku Anak Dalam seluas 1.400 hektar. Hal ini kembali menyebabkan masyarakat Suku Anak Dalam merasa dirugikan kembali. Sehingga masyarakat Suku Anak Dalam melakukan protes massal hingga tahun 2017 karena perusahaan tidak menepati janji untuk kembalian lahan tersebut.
Tahun demi tahun berlalu, konflik ini semakin memanas. Masyarakat Suku Anak Dalam melakukan protes besar-besaran dan memberikan tindakan tegas berupa menduduki lahan PT Lonsum sebagai bentuk protes. Namun, PT Lonsum membalas dengan merusak pondok Masyarakat Suku Anak Dalam yang menyebabkan kemarahan warga yang memuncak. Pada bulan Januari 2017, warga melakukan Tindakan membakar pos sekuriti Lonsum dan merusak jendela kantor perusahaan sebagai bentuk upaya menyampaikan keluhan mereka selama ini (Rana Dwi Putri Alham, dkk, 2021)
Setelah lebih dari dua dekade berkonflik, akhirnya dilakukan kerja sama dari pemerintah dengan melakukan penyelesaian dengan cara non-litigasi, yang artinya penyelesaian sengketa tanah adat dengan menggunakan cara mediasi, konsultasi, negosiasi, konsilasi, ataupun penilaian para ahli serta penyelesaian tersebut berkoordinasi langsung dengan Gubernur Sumatera Selatan dan Pemerintah Daerah lainnya. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto melakukan upaya langsung untuk menyelesaikan
masalah ini. Pada bulan April 2023, Hadi mengatakan bahwa proses kegiatan pencatatan atau pengumpulan data telah selesai dan mekanisme pemberian hak sedang berlangsung. Akhirnya
pada bulan September 2023, sertifikat hak atas tanah diberikan secara door to door atau memberikan sertifikat secara langsung kepada penerima, yaitu masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Tebing Tinggi oleh Menteri Hadi Tjahjanto sendiri.
Konflik tanah adat suku Anak Dalam di Tebing Tinggi ini merupakan contoh bagaimana industri sawit dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat lokal. Penyerahan sertifikat hak kepemilikan Tanah menjadi hal yang penting dalam penyelesaian konflik sengketa tanah. Penyelesaian ini menjadi bukti bahwa pentingnya kerjasama antara lembaga-lembaga penting Pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengakhiri konflik pertanian yang terjadi. ***
*) Mahasiswa Hukum Universitas Jambi