UU Ciptaker Bangun Sistem Ekonomi-Politik Liberal
Koranjambi.com, Konsorsium Pembangunan Agraria menilai pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja sejak awal sudah gelap dan manipulatif. Sebab, pembahasan tidak melibatkan kelompok kepentingan yang akan terdampak.
Sekjen KPA, Dewi Kartika menjelaskan, dari sisi substansi, ada sepuluh masalah fundamental UU Cipta Kerja.
Di antaranya, UU Cipta Kerja telah melanggar Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945, mengenai kewajiban Negara atas sumber agraria Indonesia agar dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi.
Parahnya lagi, banyak putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah menguatkan hak konstitusi rakyat, utamanya petani, nelayan, masyarakat adat, dan produsen pangan kecil justru dikangkangi oleh UU ini.
“Orientasi ekonomi-politik UU ini adalah membangun sistem ekonomi-politik yang liberal dan kapitalistik. Pemilik modal lah yang semakin mendapatkan akses utama terhadap hak atas tanah dan sumber daya alam. Sementara petani, buruh tani, masyarakat miskin, masyarakat tak bertanah (landless) akan semakin mengalami krisis berlapis. Hal ini mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial,” sebutnya dalam pernyataan tertulis yang diterima, Selasa (13/10/2020).
Dewi mengatakan, UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi sumber-sumber agraria di Indonesia, karena tanah menjadi barang komoditas, yang bebas ditransaksikan bagi para pemilik modal dan badan usaha raksasa.
“Sederhananya, obral tanah dan kekayaan alam negeri menjadi watak UU ini. Dengan orientasi semacam ini, tidak dapat dibayangkan kerusakan bumi di masa depan,” katanya.
Akibatnya, KPA menilai UU ini semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reformasi agraria. Semangatnya bukan untuk memperbaiki ketimpangan struktur agraria.
UU itu, justru akan memperparahnya. Sebab dasar utama mengapa soal pertanahan dan pengadaan lahan masuk ke dalam UU ini, berasal dari argumentasi yang dibangun Menteri ATR/BPN soal keluhan badan usaha (investor) kesulitan memperoleh tanah di Indonesia. (*)
Sumber: jambiseru.com