Opini  

Opini M Ridho: Memilih Nahkoda Baru Untuk Kapal yang Bernama Indonesia

opini m ridho

Koran Jambi, Satu setengah tahun lagi, kita bangsa indonesia akan mengadapi kenduri Demokrasi besar-besaran yaitu pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada Februari 2024, sudah siapkah kita untuk menghadapi pemilu tersebut yang mana akan melahirkan nahkoda baru bagi sebuah kapal yang bernama Indonesia. Dan dalam upaya melahirkan nahkoda (pemimpin) tersebut tidak luput pula besar-nya peran dari partai politik dalam mengajukan dan memunculkan calon-calon tersebut ke permukaan untuk dipilih oleh rakyat.

Untuk mengenal defenisi partai politik lebih dalam berikut pengertian partai politik menurut para ahli antara lain :

Meriam Budiardjo, mendefenisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Dilanjutkannya bahwa tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kekuasaan politik untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Carl J. Friedrich, mengemukakan : “A political Party is a group of human being, stably organized with the objective of securing or maintaining for it’s leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”.

Sigmund Neumann , mendefinisikan partai politik sebagai : “A political party is the articulate organization of society’s active political agents, those who are concerned with the control of governmental power and who complete for popular support with another group of groups holding divergent views”.

Adapun menurut Buku HOW DEMOCRACIES DIE Karya dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, “menjelaskan bahwa partai politik berfungsi sebagai penjaga gerbang demokrasi yang menjaga kursi presiden dari para-para Demagog, yang mengincar kursi kepresidenan dimana ia mementingkan diri sendiri dan oligarki terkait dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat”.

Adapun pengertian partai politik dari segi yuridis yaitu terdapat pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK Pasal 10 ayat 1 Tujuan umum Partai Politik adalah:

a) mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ayat 2 menjelaskan tujuan khusus Partai Politik adalah:

a) meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b) memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c) membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. .

Pertanyaannya mampukah pertai-partai tersebut dengan defenisi yang di atas dalam memunculkan sosok nahkoda yang diidam-idamkan rakyat indonesia, atau justru partai-partai tersebut hanya mengangkat atau memunculkan pemimpin yang dinilai pro kepada sang ketua umum partai tersebut, otoriter, demagog, anti demokrasi, dan tidak berpihak kepada rakyat. pada pemilu 2024 mendatang?.

Dan Jawabannya bisa kita lihat dari hasil pemilu 2024 mendatang.

Itu semua bisa saja terjadi Jika partai politk melakukan atau mencalonkan calon pemimpin secara tertutup yang digambarkan seperti ketika memilih calon yang cocok di calonkan menjadi presiden di dalam ruangan tertutup yang penuh asap sampai-sampai mengepul asapnya dikarenakan tidak adanya ventilasi udara saking tertutupnya proses pemilihan calon itu, yang mungkin hanya di hadiri oleh para-para elite partai, bersama ketua partai dan para oligarki-oligarki simpatisan, dimana kita tidak tahu apa yang di bicarakan di ruangan tersebut? Apa yang di kolusi kan ? yang hanya diketahui oleh para sebagian kecil tokoh partai saja tanpa adanya proses demokrasi di partai tersebut.

(Fahri hamzah, 2022) partai politik adalah organisasi intelektual, penopang dari pada gagasan-gagasan besar dan tiba-tiba partai politik tidak lagi menjadi organisasi intelektual tetapi menjadi organisasi dagang, dimana ia mengatakan bahwa dimana secara umum partai itu lebih nampak sebagai tempat transaksi kekuasaan bukan sebagai organisasi berfikir. Bahkan seperti perusahaan keluarga yang akhirnya dikontrol oleh sekelompok keluarga, jadi partai tadi tidak berkembang menjadi organisasi intelektual dan juga tidak berkembang menjadi organisasi yang demokratik tetapi menjadi organisasi yang otoriter dan pedagang.

Tetapi hal buruk tidak akan terjadi selama partai- partai selalu berpegang teguh kepada perundang-undangan yaitu dimana tugas dan fungsi dari pada partai iyalah mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menyampingkan kepentingan partai dan kepeentingan oligarki, dimana ini adalah bagaian dari pada fundamental dasar dari dibentuknya partai politik.

Nah harusnya dalam menentukan pemimpin didalam demokrasi yaitu seorang pemimpin itu adalah seoarang pemikir. Dimana dalam demokrasi pemilu adalah pertarungan pikiran. Dimana sejarah umat manusia dahulu itu manusia menyelenggarakan kekuasaan itu dengan tumpahan darah dan kekuasaan itu menjadi perebutan dan cara merebutkannya ialah dengan senjata, darah dengan darah, kudeta dan perebutan kekuasaan dengan peperangan lalu munculah kekuasaan baru. Dan dalam tradisi demokrasi pertarungan fisik ini dialihkan kepada pertarungan pikiran dimana cara orang merebut kekuasaan itu menggunakan pikiran yaitu berkampanye memperkenalkan ide pikiran kita kepada orang-orang mengenai pemerintahan dan thoughts about the future.

Dimana berbeda dengan era sekarang dimana pertarungan demokrasi dalam pemilu itu lebih condong bertarung dengan SDM (sumber daya materi) yaitu baleho yang di pasang di setiap sudut daerah, serangan fajar, dan pembagian sembako, demi meraih simpati dari rakyat.

Apalagi pemilu yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang itu dilaksanakan seusai rakyat indonesia mengalami krisis ekonomi pada 2020 dikarenakan pandemi covid 19, dan apalagi jikalau kita melihat data sataatistik dari World Population Review, Indonesia berada di peringkat ke-10 Asia Tenggara dengan IQ rata-rata 78,49. Ada 275,501,339 penduduk di Indonesia dan IQ rata-rata dunianya berada di peringkat 130.

Maka dari itu berkaca dengan hal tersebut saya khawatir pemilu 2024 akan melahirkan pamimpin yang tidak mempunyai kapabilitas dalam berfikir (intelektual) mengenai apa yang terbaik yang harus di lakukan demi memperbaiki atau membangun kehidupan berbangsa dan bernegara baik itu di kalangan masyarakat maupun di dalam sistem kenegaraan yang lebih baik, dan ia hanya mempunyai kapasitas saja seperti ( massa pendukung yang ramai karna ia orang kaya yang banyak mengeluarkan dan membagikan materi seperti sembako dan serangan fajar yang dibungkus wajah mereka supaya maraih simpati dari rakyat).

Dan jikalau hal itu memang terjadi maka tidak menutup kemungkinan maka akan lahirlah pemimpin (nahkoda) yang otoriter, demagog, totaliter dan antidemokrasi. jikalau orang lebih cenderung tertarik ke pada calon-calon yang hanya mempunyai kapasitas saja seperti orang yang mempunyai uang yang banyakyang dia iming-imingi/ menebarkan uang,sembako dan lain-lain dan secara otomatis fenomena tersebut akan mengenyampingkan calon-calon yang mempunyai kapabilitas intelektual dan ide-ide/teori-teori baru mengenai perbaikan bangsa dan negara.

Dan dalam membatasi hal itu tidak terjadi di pemilu 2024, maka kita harus mengetahui apa saja indikator orang/tokoh yang terindikasi seorang otoriter. Didalam buku “HOW DEMOCRACIES DIE” menerangkan bahwa ada 4 indikator kunci prilaku otoriter yaitu :

1. Penolakan (atau komitmen lemah ) atas aturan main demokratis.

  • Apakah mereka menolak Konstitusi atau menunjukkan kesediaan melanggarnya?
  • Apakah mereka mengusulkan cara-cara antidemokrasi, seperti membatalkan pemilu , melanggar atau membatalkan konstitusi , melarang organisasi tertentu, atau membatasi hakasasi sipil atau politik?
  • Apakah mereka berusaha (atau menyetujui) menggunakan cara di luar konstitusi untuk mengubah pemerintahan, seperti kudeta militer, perlawanan dengan kekerasan, atau unjuk rasa besar untuk memaksakan perubahan di pemerintahan?
  • Apa mereka berusaha merusak legitmasi pemilu, contohnya dengan menolak menerima hasil pemilu yang kredibel?

2. Menyangkal legitimasi lawan politik.

  • Apakah mereka menyebut lawan sebagai pelaku makar, atau menentang tatanan konstitusional yang ada ?
  • Apakah mereka menyatakan bhwa lawan adalah ancaman eksistensial, baik bagi keamanan nasional maupun cara hidup yang umum?
  • Apakah mereka menuduh tanpa dasar lawan partisan sebagai kriminal yang dianggap melanggar hukum (atau berpotensi begitu) dan tak memenuhi syarat ikut serta dalam arena politik?
  • Apakah mereka berkata tanpa dasar bahwa lawan adalah antek asing, bekerja sama diam-diam dengan (atau dipekerjakan) pemerintah asing – biasanya yang bermusuhan ?

3. Toleransi atau anjura kekerasan

  • Apakah mereka punya hubungan dengan geng bersenjata pasukan paramiliter, milisi, gereliyawan, atau organisasi lain yang terlibat kekerasan yang tidak sah?
  • Apak mereka atau sekutu partisan mereka mendukung atau mendorong serangan massa terhadap lawan?
  • Apakah mereka secara tidak langsung menyetujui kekerasan ysng dilakukan pendukung mereka dengan menolak mencela dan menghukumnya?
  • Apakah mereka pernah memuji tindakan kekerasan politik, pada masa lalu dan di tempat lain?

4. Kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media

  • Apakah mereka mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan, atau hukum yang meembatasi protes, kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau politis tertentu?
  • Apakah mereka pernah mengancam melakukan tindakan hukum atau lainnya terhadap pengkritik di partai lawan, masyarakat sipil, atau media?
  • Apakah mereka memuji tindakan represif yang dilakukan pemerintah lain, pada masa lalu atau di tempat lain?

Dengan kita mengenali ciri-ciri indikator kunci prilaku otoriter di atas, maka kita bisa menghalagi munculnya nahkoda-nahkoda (pemimpin) yang otoriter dan antidomokrasi, yaitu dengan tidak memilih nya dan tidak menjadi pendukungnya dalam pemilu yang akan datang dengan melihat rekam jejak nya.

Dan mudah mudahan pemilu yang akan dilaksanakan 2024 dapat melahirkan nahkoda yang terbaik dan mampu membawa kapal yang bernama indonesia untuk melewati samudra pemerintahan yang penuh dengan rintangan dan membutuhkan perbaikan mengenai masalah yang silih berganti dan yang mana akhirnya akan berlabuh ke pelabuhan yang penuh dengan impian seluruh cita-cita pendiri bangsa ( the founding father), cita-cita para pahlawan bangsa, dan cita-cita seluruh rakyat indonesia dalam meewujudkan kesejahteraan umum dan membangun negara indonesia lebih baik lagi dari segi hukum, agama, kesatuan dan persatuan, pembangunan, ekonomi dan mewujudkan demokrasi yang lebih baik lagi seperti yang di amanatkan di dalam UUD 1945. (*)

*) Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu pemerintahan UIN STS Jambi

REFERENSI
Buku “HOW DEMOCRACIES DIE”, Karya Staven Lavitsky & Daniel Ziblatt.
Fales, Suimi. “Fungsi Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Ditinjau Dari Hukum Positif.” Al Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 3.2 (2018): 199-210.
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/average-iq-by-country
Romli, Lili. “Reformasi partai politik dan sistem kepartaian di indonesia.” Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional 2.2 (2016).